Senin, 21 Februari 2011

Pergolakan di Mesir (berhubungan dengan kesatuan negara & perkembangan negara)


Nama   : Dayat Hidayat
Npm    : 15209036
Kelas   : 2EA15

Mesir tidak berdekatan dengan Indonesia meskipun begitu pergolakan yang terjadi di mesir berpengaruh juga terhadap negara Indonesia. Indonesia menjalin hubungan baik dengan Mesir. Bahkan   ada catatan khusus sepanjang kedua negara menjalin hubungan diplomatik selama puluhan tahun.
Setelah Indonesia merdeka,  Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan  kita. Tanpa ragu rezim yang berkuasa di Mesir saat itu mengakui kemerdekaan Indonesia.
Di bidang pendidikan,   banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu agama di Mesir. Di sana terdapat lembaga pendidikan tinggi Islam yang ternama, seperti Universitas Al Azhar yang usianya sudah ratusan tahun. Banyak ulama terkemuka  dan  pemimpin bangsa yang mengenyam ilmu di universitas tersebut.
Nama Al Azhar bahkan diabadikan menjadi nama masjid dan sekolah Islam terkemuka di Jakarta. Itu menunjukkan  Al Azhar mendapat tempat tersendiri di hati umat Islam Indonesia.
Mei 1998,  saat  Jakarta dilanda demonstrasi  dan penjarahan, Presiden Soeharto sedang tidak berada di Tanah Air. Dia dan rombongan tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir. Sepekan setelah kembali dari negara yang dipimpin Husni Mubarrak itu, Soeharto pun lengser. Jadi, Mesir tercatat sebagai negara terakhir yang dikunjungi Soeharto dalam kapasitas sebagai kepala negara.
Kini negara itu tengah bergolak. Efek domino dari pergolakan   politik di Tunisia telah menjalar ke Mesir. Sama seperti  Tunisia, tuntutan rakyat Mesir adalah pergantian rezim.  Mereka  menginginkan  rezim Husni Mubarrak,  yang sudah tiga dasawarsa berkuasa, lengser seperti Presiden Tunisia, yang  melarikan diri ke Arab Saudi  karena tak lagi dikehendaki rakyatnya.
Pergolakan di Mesir tak luput dari perhatian pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (31/1),  menggelar  rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum dan keamanan.  Salah satu yang dibahas adalah  perkembangan pergolakan politik di Mesir.
Hasil rapat kabinet terbatas tersebut adalah pemerintah memutuskan mengevakuasi   Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermukim di negara tersebut.  Ada 6.000-an WNI yang tinggal di Mesir, baik sebagai diplomat,  mahasiswa, maupun  pekerja. Untuk keperluan evakuasi itu pemerintah akan mengirim pesawat Garuda Indonesia dan pesawat-pesawat lainnya  ke Mesir.
Mesir adalah negara terakhir yang dikunjungi mantan penguasa orde baru.  Ditilik dari masa berkuasanya,  Soeharto dan Husni Mubarrak, sama-sama berkuasa tiga dasawarsa.  Dari segi umur, keduanya  nyaris berkuasa  seumur hidup.
Kekuasaan itu cenderung untuk korup.  Apalagi bila  berkuasa puluhan tahun, makin lupa dirilah sang penguasa. Itulah makanya di negara demokrasi masa jabatan seorang presiden dibatasi.  Indonesia telah memulainya sejak reformasi 1998.
Bagaimana dengan Mesir? Bila terjadi pergantian rezim,  dan rezim baru di sana  mau menerapkan demokrasi, pembatasan masa jabatan itu mutlak perlu dilakukan. Apalagi Mesir bukanlah monarki seperti negara-negara tetangganya.
Sudah banyak contoh penguasa yang lengser karena  mengingkari suara rakyatnya. Apalagi bila negara tersebut subur dengan praktek KKN  dan  ekonominya terpuruk, makin mudah menyulut kemarahan rakyat terhadap rezim yang berkuasa.
Bila tak pandai mengelola  krisis kepercayaan rakyat   di bidang hukum dan ancaman krisis pangan, bukan  tak mungkin apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menjalar ke Indonesia.
Tentu kita tak ingin negara ini kembali terjerumus ke jurang krisis seperti 1998 lalu. Karena itu, pemerintah  harus lebih peka   memenuhi     tuntutan rakyat akan keadilan dan kesejahteraan. Bila gagal, rakyat tentu tak akan tinggal diam.
Apa yang terjadi di negeri Mesir, merupakan sebuah kerusakan yang menyebar ke semua lini dan seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Tuntutan-tuntutan kenegaraan belum sampai kepada sesuatu yang diinginkan. Sementara itu moral dan spiritualisme bangsa ditekan sedemikian rupa, sehingga muncullah situasi seperti yang sedang dialami Mesir ini. Perpecahan dan konflik sepertinya sudah menyelimuti jiwa-jiwa para pemimpin dan penguasa. Kondisi tokoh masyarakat dan rakyat pun tidaklah jauh berbeda.
Sistem manajemen negara telah dirusak oleh berbagai ambisi pribadi, kepentingan golongan, dekadensi moral, sistem sentralisasi pemerintahan, pola penerapan keputusan yang membingungkan, dan keengganan masing-masing pihak untuk memikul beban amanah.
Undang-undang telah melemah, pengaruhnya dalam jiwa masyarakat sebagai akibat dari banyaknya penyiasatan dan pengecualian.
Harga kebutuhan pokok semakin mahal, semakin banyaknya pengangguran karena sedikitnya lapangan kerja, dan tingkat penghasilan sebagian besar warga menurun sampai pada batas yang sulit digambarkan. Pada saat yang sama, terjadi kekeringan rasa kasih sayang dalam hati anggota masyarakat. Maka merebaklah kekerasan, ambisi berkuasa, dan kezhaliman dalam jiwa. Ini semua telah mengubah situasi menuju kemurkaan yang tercermin dalam setiap sikap mereka, dan tampak pada sebagian besar fenomena dan bahasa kehidupan.
Hampir-hampir moral telah berhenti perannya. Maka, yang kemudian berhembus adalah angin kebodohan, kefakiran, dan kemelaratan. Berbagai bentuk kemungkaran dan unsur-unsur kebobrokan mulai merata di setiap tempat.
Kerancuan pemikiran dan keresahan jiwa mewarnai kehidupan masyarakat yang tidak pernah mapan dalam situasi yang ada ini.
Semua ini semakin bertambah intensitasnya seiring dengan bertambahnya hari. Semakin berlipatnya waktu, akan mengancam dengan sebuah tragedi total jika akar permasalahannya tidak segera diketahui para cerdik cendekia.

Daftar Pustaka
http://www.al-ikhwan.net/agenda-persoalan-kita-dalam-kacamata-sistem-islam-3724/
http://mindcommonline.com/pergolakan-mesir-jauh-tapi-berpengaruh-1546
http://nurulaini23.files.wordpress.com/2010/11/2dv8itw.jpg?w=300&h=300